Notification

×

Iklan




Iklan




Tag Terpopuler

Pro dan Kontra Mengenai Penghapusan Kewajiban Skripsi

Selasa, 19 September 2023 | September 19, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-09-19T06:14:04Z
Ads : KONSULTASI HUKUM GRATIS DISINI

 











Jakarta,ChansMedia.Online

Skripsi seolah menjadi momok paling menakutkan bagi para calon sarjana dewasa ini. Banyak mahasiswa terkurung di kampus sebagai mahasiswa abadi karena kendala pembuatan skripsi. Banyak joki skripsi akhirnya bermunculan. Dan, berbagai persoalan lainnya yang mengaitkan skripsi sebagai tokoh antagonis dalam kehidupan kampus. Bukan sebagai pembelaan terhadap beberapa alasan yang sebelumnya, namun tulisan ini mencoba untuk menguraikan benang kusut pro dan kontra mengenai penghapusan kewajiban pembuatan skripsi yang muncul secara mengejutkan dan tentunya membahagiakan sebagian besar mahasiswa.
Penghapusan Kewajiban

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mengeluarkan kebijakan berupa penghapusan kewajiban pembuatan skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa S1 dan D4, dan penerbitan makalah ilmiah di jurnal terakreditasi atau jurnal internasional bagi lulusan magister (S2) dan doktor (S3) melalui Peraturan Mendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Sebagai alternatif tugas akhir pengganti skripsi tersebut, Nadiem mengatakan disesuaikan kepada setiap kepala program Pendidikan di perguruan tinggi. Berbagai pro-kontra pun bermunculan usai peraturan tersebut disahkan. Perlu digarisbawahi peraturan ini tidak mengatur tentang pelarangan setiap kampus untuk menerapkan pembuatan skripsi sebagai syarat tugas akhir, tapi hanya sebatas penghapusan kewajiban. Dengan kata lain, peraturan ini mengatur tentang kemungkinan seluruh kampus di bawah naungan Kemendikbud untuk memilih antara pembuatan skripsi atau tugas akhir dalam bentuk lain sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa D4 dan S1.

Memang kondisi yang demikian menjadi angin segar bagi mahasiswa karena tidak perlu lagi "capek-capek" menulis skripsi. Namun hal ini juga menjadi "penyakit" bagi kualitas lulusan sarjana Indonesia ke depannya. Tidak adanya kewajiban membuat skripsi mengakibatkan kemampuan menulis, terutama karya ilmiah akan menjadi kurang terbentuk. Selanjutnya, pemahaman terhadap focus study akan semakin menurun.

Perlu Alternatif Baru

Mahasiswa yang menulis skripsi sedikitnya akan membaca berbagai referensi terkait judul penelitiannya. Pun dalam pembuatan skripsinya akan semakin memahami kaidah berbahasa Indonesia dalam penerapannya di bidang penulisan dan juga akan semakin terlatih untuk menuangkan ide dalam bentuk tulisan. Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah bagaimana cara menyikapi Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi?

Pertama, harus dijelaskan terlebih dahulu mengenai kondisi yang kemungkinan berlaku ketika skripsi tidak diwajibkan. Ketika skripsi tidak lagi diwajibkan setidaknya akan berpengaruh terhadap kemampuan menulis karya ilmiah yang tidak terjamin dan pemahaman mahasiswa terhadap kekhususan studi kurang maksimal. Sehingga dua pengaruh tersebut akan berdampak pada berkurangnya atau semakin menurunnya kualitas sarjana Indonesia.

Kedua, perlu dicari alternatif baru untuk menyikapi penghapusan kewajiban pembuatan skripsi sebagai syarat mendapatkan gelar D4 dan S1 di Indonesia. Oleh karena itu, alternatif yang dapat dilakukan untuk mengakali kebijakan Kemendikbudristek ini yang diiringi dengan keleluasaan bagi para pimpinan kampus dalam menerapkan kebijakan sesuai dengan kebutuhan kampus masing-masing mengenai syarat kelulusan calon sarjana.

Saat ini, sikap yang paling elegan bagi pimpinan dan masyarakat kampus (mahasiswa dan tenaga pendidik) adalah mendorong penciptaan lingkungan praktisi bagi mahasiswa. Karena sesuai dengan gagasan kampus merdeka yang berjalan saat ini memberikan penjelasan eksplisit bahwa kampus harus dewasa untuk mendewasakan masyarakat kampusnya.

Kedewasaan di sini dapat diartikan sebagai penyiapan mahasiswanya sebagai sarjana yang "siap pakai" di dunia kerja profesional melalui penetapan kebijakan dan kualitas dosen yang mendukung. Untuk menyiapkan lingkungan semacam itu, perlu dilakukan beberapa hal.

Pertama, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) harus bertransformasi menjadi wadah yang bukan hanya sebatas menjadi organisasi perkumpulan mahasiswa di kampus, namun harus menjadi wadah praktik bagi para mahasiswa dalam mengimplementasikan apa yang ia pelajari sesuai dengan jurusan masing-masing. Dan, pemilihan untuk masuk ke UKM tersebut juga harus menjadi pertimbangan yang matang bagi para mahasiswa dengan melihat impact ke depannya setelah mendapatkan gelar sarjana.

Kemudian, para pimpinan kampus harus mempertimbangkan untuk mendirikan wadah baru bagi mahasiswa dalam menampung kekosongan di bidang pemenuhan kebutuhan mahasiswa praktisi. Misalnya melalui penetapan kebijakan di kelas dengan metode yang memancing untuk aktif dalam proses perkuliahan. Atau, dapat melalui penjalinan kerja sama kepada instansi pemerintahan untuk menampung mahasiswa berdasarkan jurusan masing-masing yang tidak hanya diterima magang selama menjadi mahasiswa namun juga menjadi pertimbangan untuk direkrut sebagai bagian dari instansi tersebut ketika telah lulus dari kampus kelak.

Terakhir, Kuliah Kerja Nyata (KKN) harus benar-benar didorong untuk dilaksanakan sesuai dengan esensi seharusnya yaitu pengabdian. Pengabdian yang tidak hanya sebatas penempatan mahasiswa di desa atau nagari tertentu. Tapi, juga menyiapkan program KKN yang seharusnya mampu memancing tingkat kreativitas mahasiswa dalam mengimplementasikan pengetahuannya sebagai pengetahuan yang mudah dicerna dan bersifat memberdayakan masyarakat.

Ketika hal tersebut terjadi secara berkala dan terus menerus, diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk pengaplikasian sejati dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Terutama, mengenai pengabdian kepada masyarakat dan menyiapkan mahasiswa yang mengetahui kondisi lingkungannya di masa depan.

Sumber : detiknews



×
Berita Terbaru Update