Keriuhan
tentang kebijakan pengelolaan kinerja guru dan kepala sekolah melalui Platform
Merdeka Mengajar (PMM) belum juga usai. Adanya tuntutan minimal 32 poin pengembangan
kompetensi berbasis sertifikat mendapat menimbulkan kehebohan yang luar biasa.
Seakan menjadi hal baru dan sangat berat, masalah ini tidak berhenti menjadi
pembahasan di berbagai media sosial. Sebagian pembahasannya bahkan didramatisir
sehingga menimbulkan banyak komentar, baik pro maupun kontra.
Untuk
memfasilitasi kebutuhan pengembangan diri berbasis sertifikat, berbagai Lembaga
menyelenggarakan berbagai kegiatan bersertifikat, baik gratis maupun berbayar.
Lembaga-lembaga tersebut merupakan komunitas belajar, komunitas praktisi,
organisasi profesi, serta lembaga komersial. Kegiatan yang diselenggarakan pun
umumnya menggunakan moda daring atau online, baik dalam bentuk pelatihan maupun
seminar.
Berdasarkan
pengamatan Tim Chans Media melalui berbagai media sosial, banyak di antara
pelatihan atau seminar daring tersebut yang disinyalir abal-abal atau fiktif. Informasi
kegiatan-kegiatan tersebut banyak yang tanpa disertai informasi yang jelas
mengenai lembaga penyelenggara dan narasumbernya. Berbagai pelatihan disodorkan
dengan iming-iming sertifikat 32 jam pelajaran tanpa tugas, bahkan disediakan
dokumen daftar hadir dan laporan kegiatannya. Pada umumnya pelatihan seperti
ini berbayar atau gratis dengan syarat menyebarkan informasi ke sejumlah grup whatsapp.
Ironisnya, banyak kabar beredar adanya guru-guru yang tertipu secara keuangan dengan
kegiatan seperti itu.
Bentuk kejanggalan lainnya, munculnya berbagai komunitas belajar guru yang menyelenggarakan webinar fiktif. Menurut pantauan melalui PMM pada Kamis (29/02), ditemukan banyaknya webinar yang waktu penyelenggarannya tidak logis, dilakukan selama 24 jam. Setelah ditelusuri, komunitas-komunitas tersebut ada yang menyelenggarakan sampai tiga webinar pada waktu yang sama dengan narasumber yang sama. Bahkan nama narasumbernya pun tidak dituliskan.
Ketika ditelusuri lebih jauh, penggerak komunitas abal-abal tersebut hanya satu orang. Parahnya lagi, guru tersebut juga menjadi penggerak tunggal pada dua komunitas lainnya yang terdaftar di PMM. Semakin tidak logisnya, ketiga komunitas tersebut juga menyelenggarakan webinar pada waktu yang sama pula. Sehingga, dalam waktu yang sama, penggerak komunitas tersebut menyelenggarakan enam webinar sekaligus, dengan satu narasumber yang sama yaitu Ketua Komunitas.